DISKURSUS EPISTEMOLOGI ISLAM
Lutfi Hilman, MA.Hum
Permasalahan yang muncul di dunia Islam hari ini menempatkan peradaban Islam pada wilayah yang kurang diperhitungkan dan telah mencapai titik nadir, hal ini disebabkan karena pemahaman ajaran Islam yang cendrung statis dan stagnan, kurang dapat mengadaptasikan diri dengan perkembangan zaman dan modernitas seperti yang dikatakan oleh Nurchalis Majid bahwa tidak ada agama besar yang paling terbelakang selain Islam. kemunduran Ini dapat dibuktikan dengan lemahnya kualitas pendidikan, politik, ekonomi, budaya baik skope nasional maupun internasional. Dan kondisi ini bukanlah warisan generasi Islam, sesungguhnya Islam adalah agama yang sejatinya sesuai dengan perkembangan zaman dan metolerir perubahan.Ernest Gellner mengatakan bahwa Islam adalah agama yang paling dekat dengan modernitas dibanding agama Yahudi dan Kristen. Dengan demikian adanya kemandekan peradaban Islam yang ditandai dengan mundurnya dalam sains dan teknologi serta kebudayaan dan keilmuan Islam tidak berbanding lurus dengan semangat al-Quran yang mensyaratkan pemungsian akal yang kreatif.
Cak Nur menyatakan bahwa terjadinya fenomena kemandekan temuan sains yang terjadi di dunia Muslim diantaranya akibat politik isolatif umat Islam terhadap dinamika pengetahuan modernsehingga mereka berpandangan bahwa ilmu umum atau yang datang dari Barat haram untuk diketahui dan dipelajari, dengan kondisi demikian maka para ilmuan Muslim lebih memilih untuk bersikap defensif dengan mengambil posisi fanatik terhadap pemikiran klasik yang dianggap telah final padahal ada satu wadah kreatifitas berfikir yaitu ijtihad yang tidak boleh dilupakan umat. Kondisi stagnan pemikiran ini sesuai dengan apa yang diungkap oleh Arkoun bahwa dalam Islam telah terjadi pensyakralan pemikiran keagamaan (taqdis al-afkar addiniyyah).Demikian juga menurut Al-Jabiri yang meneliti secara khusus sistem-sistem pengetahuan yang dikembangkan dalam Islam, menemukan bahwa ummat Islam selama ini masih terbelenggu dengan sistem bayani yang dikontraskan dengan sistem pengetahuan ‘irfani dan burhani.
Mulyadi Kertanegara menyatakan bahwa dikotomi keilmuan menjadi sangat tajam karena telah terjadi pengingkaran terhadap validitas dan status ilmiah yang satu atas yang lain. Pihak kaum tradisional menganggap bahwa ilmu-ilmu umum itu bid’ah atau haram dipelajari karena berasal dari orang-orang Kafir, sementara para pendukung ilmu-ilmu umum menganggap ilmu- ilmu agama sebagai pseudo ilmiah atau hanya sebagai mitologi yang tidak akan mencapai tingkat ilmiah, karena tidak berbicara tentang fakta, tetapi tentang makna yang tidak bersifat empiris. Cara berfikir dikotomis tersebut sampai saat ini masih terjadi hal ini dapat dibuktikan dengan adanya dualismesistem pendidikan khususnya di Indonesia yaitu antara sekolah umum yang berada di bawah naungan DIKNAS dan sekolah Islam atau madrasah berada di bawah Kemenag.Maka untuk mengintegrasikan ilmu sekuler dan agama, menurut Mulyadi, keduanya harus diangkat ke tingkat epistemologis. Untuk mencapai tingkat ini, integrasi harus berurusan dengan beberapa aspek atau tingkatan: ontologis, epistemologis, dan metodologis.
Dengan demikian sumber stagnasi keilmuan sangat terkait dengan permasalahan epistemologi, maka kaitannya dengan hal ini Amrullah Achmad menyatakan bahwa tugas cendekiawan Muslim yang mendesak dan dan harus segera dipenuhi adalah mengembangkan epistemologi Islam.Epistemologi ini merupakan inti setiap pandangan dunia mana pun juga, yang terbukti mampu mengantarkan zaman klasik Islam menuju kepada kemampuan membangun ilmu dan kebudayaan yang tidak dikotomik.
Maka Upaya untuk membangun pemetaan keilmuan Islam yang kokoh dan teraplikasi sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan masa depan umat manusia. Salah satu upaya demi terealisasikannya maksud di atas adalah dengan menggali teori pengetahuan dari al-Qur’an sebagai landasan epistemologi Islam, karena epistemologi Islam merupakan dasar bagi pembentukan seluruh disiplin ilmu dan pengetahuan Islam, mencakup kajian Islam (seperti tafsir al-Qur’an, Hadits, kalam, falsafah dan sebagainya), ilmu-ilmu sosial (seperti soisologi, antropologi dan sebagainya), dan sains (seperti botani, zoologi dan sebagainya.) Oleh karena itu sains tidak dapat lagi dianggap sebagai ilmu non-Islam atau ilmu umum. Karena itu, Sardar mengajak bahwa Islamisasi ilmu bagaimanapun juga harus bertitik tolak dari membangun epistemologi Islam sehingga benar-benar menghasilkan sistem ilmu pengetahuan yang dibangun di atas pilar-pilar ajaran Islam.
Dalam epistemologi, pengetahuan merupakan kekuatan yang harus diberdayakan dan dikelola dengan baik. Sudah sejak Francis Bacon (1561-1626) orang disadarkan akan kenyataan bahwa pengetahuan adalah suatu kekuasaan (knowledge is power). Pengetahuan mempunyai daya kekuatan untuk mengubah keadaan. Seperti yang dikatakan Pranarka: “Apabila pengetahuan adalah suatu kekuatan yang telah dan akan terus membentuk kebudayaan, menggerakkan dan mengubah dunia, sudah semestinyalah apabila kita berusaha memahami apa itu pengetahuan, apa sifat dan hakikatnya, apa daya dan keterbatasannnya, apa kemungkinan dan permasalahannya.” Pertanyaan-pertanyaan asasi tentang pengetahuan seperti itu dicoba untuk dijawab oleh epistemologi.
Selama ini yang mendominasi adalah epistemologi keilmuan barat yang lebih antroposentris lebih khusus lagi penekanannya kepada akal sebagai kriteria metode ilmiah dan keilmuan sosial dengan menafikan kaitannya dengan ketuhanan, maka dengan demikian perlu adanya upaya untuk mencari pemecahan dengan mempertimbangkan epistemologi lain. Dikalangan pemikir Muslim menawarkan pemecahan itu dengan epistemologi Islam. Mereka sedang mencoba menggagas bangunan epistemologi Islam tersebut yang diformulasikan berdasarkan al-Quran dan al-Sunnah. Jadi, gagasan epistemologi Islam merupakan respon kreatif terhadap tantangan-tantangan mendesak dari ilmu pengetahuan modern yang membahayakan kehidupan dan keharmonisan manusia sebagai akibat epistemologi Barat. Gagasan epistemologi yang di kembangkan kaum Muslim itu bertujuan untuk memberikan ruang gerak bagi umat Muslim khususnya, agar bisa keluar dari belenggu pemahaman dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berdasarkan epistemologi Barat.
Quraish Syihab dalam bukunya membumikan al-Quran Menyatakan bahwa membahas hubungan al-Quran dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalammya, bukan pula dengan menunjukan kebenaran teori-teori ilmiah, tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian al-Quran dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri.
Beliau kemudian menjelaskan bahwa membahas hubungan antara al-Quran dan ilmu pengetahuan bukan dengan melihat misalnya adalah teori relatifitas atau bahasan tentang angkasa luar, ilmu computer tercantum dalam al-Quran, tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat al-Quran yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan? Dengan kata lan, meletakkannya pada sisi” social psychology” ( psikologi social) bukan pada sisi “ histoty of scientific progres” ( sejarah perkembangan ilmu pengetahuan) beliau menyimpulkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya dinilai dengan apa yang dipersembakannya kepada masyarakat, tetapi juga diukur dengan wujudnya suatu iklim yang dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan itu.
Mengenai epistemologi beliau juga menerangkan dalam artikel yang dimuat pada i-epistemology.net beliau mengatakan kalaulah kita menerima penjelasan yang menyatakan bahwa filsafat adalah dasar semua pengetahuan yang mempersoalkan cara-cara meraih pengetahuan, pengembangan pemikiran, batas pengetahuan dan bagaimana memanfaatkan pengetahuan, maka tidak pelak lagi bahwa dengan mudah dapat ditemukan sekian banyak ayat yang berbicara tentang hal-hal tersebut bahkan sebagian dari persoalan di atas dapat ditemukan jawabannya pada wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw.
Dalam wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw Allah mengisyaratkan hal tersebut dengan firman-Nya: Yang mengajar dengan pena, mengajar manusia apa yang belum diketahui (nya) (Q.S. AI-Qalam 96: 4-5, bahwa kedua ayat diatas menjelaskan dua cara yang ditempuh Allah swt. dalam mengajar manusia. Pertama melalui “pena” (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang kedua melalui pengajaran secara langsung tanpa alat.Cara yang kedua ini dikenal dengan istilah “Ilm Ladunny”.Dibawah peringkat wahyu adalah ilham, intuisi dan firasat, dan juga mimpi yang kesemuanya dalam beberapa rinciannya adalah anugerah Tuhan semata, dan tidak dapat diperoleh melalui usaha manusia.
Dari pembahasan di atas makadapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna yang bersumberkan al-Quran sebagai pedoman menjalani kehidupan manusia, mengandung semangat keilmuan yang dinamis, mendorong umatnya untuk berfikir dan berijtihad secara inovatif untuk membangun peradaban dengan ruhnya, usaha penggalian ilmu yang diperintahkan al-Quran jelas ada dasar dan tujuan yang ingin dicapai, yaitu dasar epistemology keilmuan Islam yang berbasiskan keimanan kepada Allah atau yang disebut Tauhid, dengan semangat tauhid mendorong untuk mempelajari, memahami dan mentadaburi ayat-ayatnya yaitu apa yang disebut dengan ayat-ayat kauniyah dan qauliah,yang pada akhirnya manusia sampai pada pengakuan akan eksistensi kemahakuassaan-Nya yang terpenting lagi kita sebagai umat Islam tidak termasuk yang diancam oleh-Nya sebagaimana yang tertera dalam Surat al-A’raf ayat 179.
Tauhid yang mendorong dalam pencapaian keilmuan yang integral dan holistik, akan menemukan satu bentuk epistemology yang tidak hanya menekankan pada potensi akal manusia sebagai perangkat metode keilmuan yang diposisikan lebih dalam epistemologi Barat, atau hanya penekanan pada unsur-unsur intuisi atau kecendrungan kearah teologis yang berlebihan karena hanya akan membentuk epistemologi yang rigid dan mengharamkan daya kritis yang justru bertentangan dengan semangat al-Quran dan dalam sejarah Islam hanya menciptakan stagnasi dan kejumudan yang berakibat pada kemunduran peradaban Islam, maka epistemologi Islam merupakan mencakup semua metode sesuai dengan objek keilmuan secara ontologi, semua perangkat keilmuan masuk dalam epistemology Islam, sehingga apabila hal ini dapat direkonstruksi secara konseptual dan aktualisasi konsep tersebut secara simultan maka kejayaan Islam yang selama ini kita harapkan akan terwujud , dan tidak lagi hanya duduk mengenang kejayaan Islam dalam sejarah masa lampau, karena bagaimanapun hal itu tidak akan menyelesaikan masalah, yang wajib dilakukan saat ini adalah bagaimana menggali teori pengetahuan al-Quran yang sejatinya akan menjadi solusi konstruksi epistemologi sebagai kekuatan peradaban Islam di masa yang akan datang.